Model pada puncaknya disebut, supermodel, istilah yang mula disemat pada
Cindy Crawford, model tenar asli Amerika tahunan lalu. Lalu ia kini
disebut-sebut saban hari , sekerap dunia petantang petenteng di dunia
kecil kita.
"Supermodel adalah model fashion yang dibayar tinggi dan biasanya
memiliki reputasi dunia dan sering memiliki latar belakang dalam haute
couture dan permodelan komersial.[1] Istilah ini digunakan pada budaya
populer tahun 1980-an sampai 1990-an. Contoh supermodel adalah Gisele
Bündchen dari Brasil dan Heidi Klum dari Jerman. (www.wikipedia.org)"
Turunan dari penyebutan diatas diantaranya : model amatir, model iklan
(seseorang yang memampangkan tampilan di iklan tv,radio,majalah,dsb) ,
model sampul majalah (biasanya wajahnya diperbanyak di sampul-sampul
majalah). Penyebutan ini didasarkan pada pekerjaan.
Sekali lagi ,
"Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep.(www.wikipedia.com)."
Lalu,
MEMPOSEKAN diri di pinggir-pingir badan jalan, pada tembok beton
gedung, menempel di tiang-tiang listrik, pada sudut-sudut persimpangan
jalan, pada body kendaraan roda empat, pada objek yang visible. Hal ini
yang bikin area publik di kota ini seperti pasar pajangan poster, di
sudut terminal sana.
Mau yang berwajah oval, tirus, lonjong ?, atau berkulit hitam, sawo
matang, putih?, atau suka pada yang kurus, gemuk, atletis ?, senang pada
pose senyum, jempol ke atas, jas diselempangkan bahu ?, atau pada pose
santai gemulai, dengan baju gaul ?, berpeci dan berbaju koko?, bisa jadi
pada wajah berkumis senyum merekah ?, konon ini tampak manis dan bikin
gemes.
Keriuhan sketsa wajah beserta teks dengan font ragam karakter memenuhi
mata awam, sehingga sepertinya tiada tempat di kota ini tanpa foto. Ada
trend penggunaan foto diri akhir-akhir ini. Foto dari mereka dinyatakan
lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum, dari mereka yang mengusung
agenda mirip bait lagu KD, "…Pilih lah aku jadi CALEG MU".
Ragam foto caleg tersebar dalam bentuknya rupa-rupa medium komunikasi
grafis (Poster, Spanduk, Baligho, Koran , Kalender, Pin, baju kaos,
bahkan spot radio). Ukurannya pun beragam pula, ada yang kecil, besar,
sangat besar tergantung jenis media yang digunakan. Tergantung jua
dengan besaran kocek dikantong.
Bila keriuhan ini bahagian dari sebuah pesta, pesta demokrasi kini
dinamai, maka kurang lebih 100 hari kedepan, pemandangan jangkau mata
tak lepas dari foto-foto tersebut. Kecuali pandangan anda ke langit,
atau ke tanah. Dan ini lah maksud dari semuanya.
Bukan hendak me_narsis_kan diri, atau too selfconfidence, namun sebagai
sebuah strategi. Pengenalan diri pada tingkat terbawah. Juga karena
Pemilu 2009 menetapkan suara terbanyak, aspek pengenalan via
pertontonkan profil diri bagai keniscayaan. Artinya berdiam diri pada
saat ini riskan minim pemilih.
Kini 35 partai politik (parpol) akan bertarung di Serumpun Sebalai. Ada
beberapa partai politik parpol besar dengan tokoh-tokoh besar, ada
parpol baru dengan nama-nama cukup disegani, ada juga parpol baru dengan
wajah-wajah baru tentunya. Semua punya agenda sama, meraup simpati.
Bila 573 Caleg Berebut 45 Kursi DPRD Provinsi Bangka Belitung, dari
angka ini menggunakan strategi unjuk poster diri, maka bisa dibayangkan
keriuhan pesta ini. seandainya setiap caleg memasang 10 pernik
komunikasi lengkap dengan foto diri, maka nanti akan ada 5730 baligho,
spanduk atau pun kolom halaman harian kita akan terisi mereka-mereka
ini. Belum lagi mereka-mereka yang bertarung di tingkatan DPRD Kabupaten
dan Kota, tingkat DPR Pusat dan Dewan perwakilan Daerah (DPD).
Efektifkah?
Bagi pemilik percetakan, ini berkah tersendiri. Orderan cetak spanduk,
baligho, atau poster akan membludak seiring mendekatnya waktu pemilu
nanti. Bisnis sekitarannya juga tak kalah untung, semacam fotografer,
desainer, tukang las, tukang kayu. mereka ini semacam elemen dalam
rantai produksi hulu ke hilir produk iklan kampanye, hingga nanti pernik
tadi terpasang dengan gagah di tempat umum. Untuk pemilik media, sudah
jelas.
Apakah tebaran pernik media komunikasi ini efektif?, Belum bisa
diketahui, selain belum ada penelitian ilmiahnya, berhasil atau tidak
foto diri dalam meng_gol_kan caleg lolos ke kursi dewan baru diketahui,
ketika perhitungan hasil pemilu KPUD resmi diliris beberapa bulan nanti.
Untuk saat ini, harapan minimaladalah pengenalan wajah, tebar-tebar
pesona dahulu. Seiring berjalannya waktu, diharap masyarakat jadi
terbiasa dengan wajah-wajah ini. Analoginya, semakin sering dipandang
semakin lekat ia di hati. Syukur-syukur nanti, pada saat hari_H Pemilu,
wajah-wajah yang sudah dikenal yang akan dicoblos.
Sesederhana itu kah?, tentu saja. Ataukah ini bagian dari strategi ?,
bisa jadi. Awalnya pengenal, lalu kekuatan parpol yang akan bicara dalam
meraup simpati. Tak bisa dipungkiri, kebesaran parpol turut
mempengaruhi persepsi pilih memilih. Apalagi dengan pengaruh tokoh
parpol itu sendiri.
Menggunakan pernik media komunikasi tadi dipandang dari sisi biaya,
tidak terlalui mahal-mahal amat. Dibandingkan dengan kampanye via
televisi, iklan per kolom di media cetak, atau kunjungan ke masyarakat
pemilih. Poster dan sejenisnya lebih irit. Disamping itu, unsur awet
pada pernik komunikasi grafis jadi faktor yang mendorong caleg untuk
beramai-ramai mengiklankan diri.
Lama-lama diperhatikan, seolah-olah rupa-rupa komunikasi grafis yang
nge-trend saat ini. Padahal opsi yang lain, terlalu banyak untuk
dikatakan. Tak terfikirkan, atau bisa jadi "dak sangat renyek e", "dak
kawa nyusah e". Akhirnya beramai-ramai tebar pesona lewat pernik
begituan. Alih-alih berhasil mengenalkan diri, strategi pemasangan
produk grafis pada area-area publik bisa menjadi tak efektif untuk
keberhasilan kampanye. Bahkan berbalik arah. Menjadi senjata makan tuan.
Sebab ketidak jituan hal ihwal mengiklankan diri. Meski dirasa-rasa
sudah bagus.
Ketika mereka memampangkan wajah dan aksesoris kampanye pada ruang-ruang
public, meriuhkan pemandangan kota, bergerombol rebut tempat, Wajah
kita, wajah Serumpun Sebalai, Indonesia pada akhirnya adalah wajah ragam
tanda, tanda tanya.
Strategi Jitu atau boomerang?
Sebagai sebuah tindakan politik, kampanye dimaksudkan pada pencapaian
dukungan. Bentuknya berupa slogan, pembicaraan, barang cetakan,
penyiaran barang rekaman berbentuk gambar atau suara, rupa-rupa bentuk
ini berarah pada rekayasa Pencitraan, lalu berkembang ia pada upaya
penyamaan atau pengenalan sebuah gagasan,isu maupun ideologi.
Termasuk, pada rupa-rupa komunikasi grafis diatas dengan ragamnya yang
sekarang, diperbanyak, ditempatkan pada ruang publik. Merupakan bagian
kampanye. Ia bisa menjadi penyebar pesan diri pribadi, selain
mengkomunikasikan gagasan atau semangat yang diusung kepada masyarakat
pemilih.
Ketika Ferdinand de Saussure memperkenalkan semiotika dalam ranah
komunikasi, sebuah disiplin yang mengkaji bahasa, proses membahasa dan
proses berbahasa. Bahwa dalam setiap obyek yang dipakai oleh seseorang
untuk mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu memiliki peran
gandanya sebagai "yang menandakan sesuatu" dan sekaligus sebagai "yang
ditandakan". Begitulah, ketika tebaran rupa-rupa atau pernik komunikasi
tersebut ternyata tidaklah sesederhana benda mati terpancang di tanah.
Ternyata ada tanda dan yang ditandakan pada tiap pernik media grafis
tadi. Ragam makna jadinya.
Kalau menyaksikan iklan kampanye kota kita, sebenarnya tak begitu rumit
karena unsur-unsur yang digunakan nampak sederhana. Walaupun begitu,
pernik grafis paling sederhana pun tetap bermain dalam pengelolaan
tanda. Bermain tanda dengan ramuan apik akan menghasilkan pesan (citra)
tertentu. Dalam pandangan semiotika periklanan, ada dimensi-dimensi
khusus pada sebuah iklan. Dimensi tersebut saling terkait dan mendukung
untuk memperoleh sebuah citraan tertentu. Iklan, biasanya berisikan
unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan, konteks
(context) berupa lingkungan, orang atau makluk lainnya yang memberikan
makna pada objek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring).
Foto diri, lalu diperkuat dengan slogan-slogan berbentuk teks, memberi
makna tersendiri. Begitu pula mimik wajah, gerakan tubuh, pemilihan
besar huruf, tebal tipis, dan elemen2 pendukung lainnya membentuk
kesatuan tanda (signifier) . Besar kecil produk juga memberi pengaruh.
Lokasi dan Posisi pemasangan dan jenis media itu sendiri sangat
menentukan. Bukan benda sepintas lalu, tapi ia menjadi semacam penyebar
pesan yang ternyata dapat dimaknai dengan subyektivitas masing-masing
masyarakat.
Bahwa bahasa tulisan, menurut Saussure ternyata masuk pada salah satu
dari sekian tanda. Serta ada lagi gambar atau simbol yang merupakan
bahasa rupa didalamnya. Lagi-lagi, sebuah poster dengan poster yang
lainnya dapat dimaknai berbeda, sebuah pernik grafis tadi bisa berarti
sesuatu bagi sekelompok orang, sedang bagi kelompok lain ia bisa berarti
sesuatu yang lain.
Poster atau baligho yang mampang di pinggiran dan simpangan jalan kota
kita, pada umumnya memamerkan foto close Up, marginnya bisa disamping
kiri, kanan atau tengah, dengan penempatan mencapai sekitar 50 persen
halaman. Sisanya teks dan elemen tanda lainnya.
Ketika sebuah poster hanya menampilkan foto yang close up bisa berbeda
artinya dengan semi full body. Yang close- up menandakan "biasa-biasa
saja", tampilan ini seperti di lembar pemilih nanti, lengkap dengan
daftar urutannya. Signifier foto berupa semi utuh dapat saja
mencerminkan kepercayaan diri. Begitu pula letaknya, apabila centering
dan memenuhi lay out, ini mengacu pada pusat perhatian. Sedang yang
berbagi dengan tanda lain secara proporsional dalam perwajahan pernik
tadi, mengacu pada membagi kesempatan tanda untuk tampil dan terlihat.
Sekilas, Tampilan foto rata-rata berpeci dan berbaju koko, berjas safari
atau seragam parpol. Yang berpeci dan berkoko, ingin menegaskan
religiusitas dan kedekatan dengan mayoritas, sedang berjas mengacu pada
kesan formal dan berwibawa. Lain lagi dengan berjas parpol, bisa mengacu
pada kebesaran partai sendiri. Ada juga yang berbaju gaul khas anak
muda sekarang, yang ini signified_nya seseorang yang "gaul banget".
Begitupun pose seperti mengacungkan jari, ada seperti hendak bersalaman,
mengacungkan jempol. Ini pose yang hidup, acuannya sebagai kedinamisan,
yang close up tergantung juga. Pun seperti tampilan, foto KTP atau
standar kartu nama, yah acuannya jadi biasa2 aja. Termasuk mimik wajah,
apakah tertawa, senyum, datar. Tersenyum acuannya ke ramah tamah dan
penuh kehangatan, sedang datar mengacu pada keseriusan dan formalitas.
Yang tertawa, mengacu pada sosok yang humoris. Terakhir ini nampaknya
tak ada.
Diperkuat dengan nomor caleg dalam tabel, fontnya diperbesar hingga sama
besar, agar calon pemilih lihat jelas. Ada yang dipertegas dengan
gambar bendera merah putih, bendera partai. Juga disandingkan dengan
foto ketua umum partai politik atau pembesar di negeri ini, karena
kebetulan sama partai. Kadang sama besar dengan foto caleg yang
bersangkutan, bisa juga lebih kecil. Foto bersanding dengan pembesar ini
mengacu pada dukungan dan restu politik.
Berikutnya pernik media tadi ditambahi teks, berbunyi mirip undangan
nikahan, "Mohon Doa Restu", acuannya adalah sang caleg minta izin untuk
jadi maju ke pencalonan secara baik-baik. Teks yang intinya sebagai
anchoring ini kesannya lagi-lagi biasa saja. Kesan dipergunakan
beramai-ramai membuat teks ini jadi standar umum, tak ada yang special.
Mengapa kami memilih anda?, harusnya yang disampaikan. Teks yang berupa
slogan, seperti "Mari Berubah," "Bersih dan Peduli", Atau teks
seperti,"izinkan Saya Mewakili Anda". Teks semacam ini mengacu pada
jawaban atas tanya tadi. Bernada persuasive dan menggoda lebih baik
dibandingkan "Mohon Doa Restu.". Sebagai anchoring pada media komunikasi
satu arah, harusnya teksnya benar-benar powerfull.
Jika di pinggiran jalan pernik media ini terpasang berjejer rapi, di
persimpangan lampu merah, mereka bergerombol, seolah rebutan posisi. Ini
baru awal-awal yang nanti bakal ramai, setelah ada penambahan bendera
parpol, atau hari-hari besar. Riuh rendah poster, spanduk, baligho,
bendera parpol di ruas sisi jalan, tiang-tiang bendera dan pohon-pohon
dilibatkan seperti yang sudah-sudah. Di kampung saya, keramaian ini
tertandingi saat perayaan 1 Muharram. Untuk ihwal penempatan, para caleg
kita cukup jitu.
Yang terpenting adalah bagaimana kemasan pesan ini sampai ke masyarakat,
berhasil pada tataran sikap (behavioural). Ujungnya memilih. Ketika
dilihat, lalu diterima indera penglihatan terus prosesnya runtun didalam
memori otak, kemudian dipersepsi (encoding) sesuai dengan backgrounders
yang bisa berupa ideologi, norma-norma, akan timbul makna yang
subyektif.
Itulah mengapa lalu konteks budaya menjadi satu acuan yang terikat bagi
berhasil atau tidaknya komunikasi suatu iklan. Misalnya, iklan caleg
berjas safari yang memiliki konotasi formalitas dan intelektualitas
belum tentu sesuai dengan konteks budaya suatu kelompok masyarakat
tertentu. Berjas safari bisa memiliki makna berbeda, seperti keberadaan
kaum elit atau jetset yang selalu identik dengan berjas. Penanda
(signifier) caleg berjas bisa memiliki petanda (signified) "orang elit
". Tanda memang tidak dapat dilepaskan dengan konteksnya, sebagai contoh
tanda lalu-lintas (lampu lalu-lintas) berguna pada saat dia dipasang di
jalan raya. Tanda itu tidak akan ada gunanya apabila dipasang di ladang
tebu di pedalaman suku terasing.
Akhirnya
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai
pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita
berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami
maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat
terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa,
kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan
makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan
makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode
yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka
makin dekatlah "makna" kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang
pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut
Ketika era sekarang kreatifitas dalam beriklan adalah tuntutan, seorang
perancang iklan dituntut bagaimana dia harus keluar dari situasi yang
disebut "me too" positioning (itu ke itu). Perancang iklan caleg
seharusnya berusaha untuk lepas dari posisi "dari itu ke itu" saja.
Referent/acuan yang seidealnya terbebas dari penampilan tokoh yang
dewasa, pintar, mengayomi , dan sejenisnya, sehingga signifier-nya
bergerak direntang pada kehadiran pria dewasa nan bijaksana dalam
konteks seorang tokoh dewan terhormat. Berujung pada iklan kampanye
kreatif juga powerfull menarik massa. Namun alih-alih kreatif, acuan
tanda untuk referent itu-itu saja bahkan sulit di jumpai pada rupa-rupa
media komunikasi grafis sekarang.
Bandingkan, baligho operator selular kita, 3 (Three), yang hanya
menampilkan baligho hitam sahaja, lalu dipertegas dengan kalimat tanya
berwarna putih?. Iklan ini menggelitik sekaligus merangsang otak.
Rentetan tanda disampaikan secara runut, dari awal disodori tanda tanya
lalu di hari berikutnya kelebihan-kelebihannya, baru diakhir, diketahui
apa itu 3 (three). Konsep pemasarannya kreatif. Sekreatif, operator
lainnya, yang menggunakan tanda berupa monyet sebagai signifier. Ini
beda tapi, meminjam istilah sekarang,"Kereeeen".
Kata Roland Barthes dalam "The Death of Author", bahwa ketika tanda
(iklan) telah terlahir dan tertayangkan maka "pengarang telah mati".
Dalam arti tidak ada kuasa iklan (orang di balik iklan). Kuasa berada di
publik. Masyarakat bebas menafsirkan sendiri maksud dari iklan yang
muncul.
Sekali lagi, bermain-main dengan rupa-rupa komunikasi grafis satu arah
ini ibarat melempar umpan ke sungai, bila tepat banyak yang akan
tertangkap, namun seperti boomerang, ketidakjituan melempar bisa-bisa
berbalik arah dan menciptakan jurang antara caleg dan calon pemilih.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar