Sejarah Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI)
Istilah fotografi berasal dari bahasa Yunani, Photos-graphos. Photos artinya cahaya dan graphos artinya menulis atau melukis. Menulis atau melukis dengan cahaya. Namun tafsir yang sederhana ini membutuhkan perjalanan ribuan tahun untuk mewujudkannya. Penemuan teknologi fotografi adalah rangkaian cerita panjang dari gairah kebutuhan manusia untuk bisa merekam gambar sepersis mungkin. Cikal bakal teknologi ini dimulai dari zaman pra-sejarah dan tercatat dalam sejarah sejak penulis Cina, Moti, pada abad ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, ilmuwan Arab ibnu al Haitam atau Al Hazen pada abad ke-10 M, Gemma Frisius tahun 1554 mematenkannya dengan istilah Camera Obscura, lalu lahir teknologi fotografi analog hingga teknologi digital yang paling mutakhir.Di Indonesia, saat penggunaan teknologi digital mulai marak, sekelompok fotografer dilanda resah. Mereka bukan antidigital. Tapi, pendidikan fotografi Indonesia akan kehilangan satu elemen penting dari fotografi yaitu proses alkimia dari kerja rekam objek. Salah satunya Ray Bachtiar Dradjat.
Berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas Chen Fu, Ray menuliskan pengalamannya di media GFJA tahun 1997, Photo Copy. Selanjutnya digelarlah workshop perdana pada 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang. Hasilnya, terbit buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM”. Kamera Lubang Jarum (KLJ) adalah sebutan Pinhole camera lantaran konsep dasar inovasinya berbeda. Ray bertekad mensosialisasikan “seni proses” ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Di sinilah perbedaan Ray dengan para profesional fotografer yang pada saat itu sudah bahkan lebih dulu menggunakan pinhole camera. “Teknik” pun seakan-akan tak jadi soal, yang penting adalah masalah mengasah rasa. “Secukupnya”. Itulah konsep awal dari gerilya panjang yang sambung-menyambung: Jawa, Bali, Makassar. Hingga pada 17 Agustus 2002, Ray mengumandangkan proklamasi berdirinya Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI).
KLJI tak menyoalkan “kesempurnaan” karena “kegagalan” justru bisa menjadi konsep dan menuntun kita menerobos segala rintangan. Maka eksplorasi makna “lubang jarum” jadi tujuan. Kita dituntut mampu meloloskan diri dari suatu situasi yang sulit, “kreativitas” jadi kendaraan yang sangat berguna untuk membantu meloloskan diri dari lubang jarum. Sebagaimana dikatakan Leonardo Da Vinci: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”.
Kamera Lubang Jarum bersifat handmade. Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan manusia-manusia kreatif, juga mengembalikan suatu momen ritual dan upacara dalam fotografi sekaligus memberikan kembali pemahaman tentang apa arti pelambatan di tengah digitalisasi kehidupan yang menawarkan percepatan pembangunan, pertumbuhan teknologi, budaya instan dan konsumerisme.
Lubang Jarum memanifestasikan suatu diktum bahwa proses alam dan kenyataan harus diikuti oleh sebuah proses alkimia dengan menggunakan hukum jarum sebagai proses.
Perkembangan Kamera Lubang Jarum di Indonesia
Dan di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming, Ray Bachtiar Dradjat yang sudah menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografer mulai resah. Ray tidak anti digital, tapi punya pandangan bahwa pendidikan fotografi di Indonesia sebaiknya “mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”. Maka berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal menggunakan KLJ kaleng susu 800 gr, dengan negatif kertas Chen Fu th 1997, digelarlah workshop perdana tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Loepy Naden, didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. Akhirnya, September tahun 2001 dibantu Jasmani dan Budi Rahardjo, terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Ray menyebut pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Ray tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain KLJ di Indonesia.
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah yang digarisbawahi. Karena lubang jarum bisa berarti kondisi dimana saat sulit datang bertamu dan pada saat seperti itu kita harus mampu meloloskan diri. Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta“, karena terbukti KLJ mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata.
Sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. KLJ menawarkan seni proses yang sangat melelahkan, tapi juga KLJ bisa sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Sangat pantas jika KLJ di Indonesia digunakan sebagai kendaraan untuk masalah “pendidikan” dan “seni”. Terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali, KLJ di terima para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah sempat berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti seniman lukis, tekstil dan bahkan teater.
Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008, Ray menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ. Bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya orang-orang tertentu saja yang mampu membuat bahan KLJ dengan tangan mereka sendiri (handmade). Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, peristiwa seperti itu bukan sebuah khayalan. Membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, sepertinya bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Tapi karena di Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ pralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di Jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukkan ke dalam saku. Dan pada awal 2010 KLJI Bandung bangkit dengan inovasi kamera rakitan dari karton. Semakin melekatlah motto “Membuat Tidak Membeli”.
Jika efek KLJ disebutkan tidak akrab lingkungan, justru hikmahnya adalah kita dapat menyisipkan pesan dan memperkenalkan cara menangani limbah yang ditimbulkan dalam proses fotografi analog dengan benar. KLJ mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti. KLJ mengingatkan kita akan dunia materi yang fana sekaligus menjadi alat untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas bagi para kreator fotografi Indonesia.
Kinilah saatnya untuk menghargai sejarah sebagai langkah menuju masa datang. Atas pertimbangan itu pula jika KLJI memberikan penghargaan pada tahun 2007 kepada tokoh Fotografi Indonesia, Don Hasman yang masih aktif memotret dan tahun 2009 kepada kang Dayat Ratman tokoh fotografi hitam putih dari Bandung yang membantu lahirnya KLJ.
Puncak yang dicapai KLJI adalah tanggal 7 Desember 2010 atas pengakuan Newseum Indonesia yang memberikan “Anugerah Tirto Adhi Soerjo” kepada Detik.com dan Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) untuk kategori communiNATION dengan dasar:
KLJI memanifestasikan suatu diktum bahwa proses alam dan kenyataan harus diikuti oleh sebuah alkimia dengan menggunakan hukum jarum sebagai proses. Apalagi jika itu dilakukan secara kolektif dan sadar sehingga menjadi sebuah kesaksian jurnalistik di tengah deru percepatan yang dielukan. Lantas jurnalistik tak semata hasil, tapi bagaimana hal itu dicapai dengan sebuah proses alkimia.
Hingga kini Komunitas Lubang Jarum Indonesia sudah tumbuh di 17 kota lebih, dan akan terus berkembang karena KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna…
Sumber: KLJIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar