salju

Jumat, 13 April 2012

komunitas lubang jarum indonesia

Komunitas Lubang Jarum Indonesia

Butuh Hosting Murah dan Stabil? Pesan di sini
9 - Jul - 2009 | 8:52 pm | kategori:Komunitas KAMERA LUBANG JARUM (KLJ), bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum. Di Indonesia ditemukan kembali oleh fotografer Ray Bachtiar Dradjat. Tanggal 17 Agustus 2002 ia mendirikan KLJI (Komunitas Lubang Jarum Indonesia), yaitu perkumpulan pemain Kamera Lubang Jarum. Hingga kini sudah tersebar di lebih 10 kota besar Indonesia. Kamera Lubang Jarum bukan alat yang sempurna, namun bisa membawa kita memasuki suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan olah fisik. Kamera Lubang Jarum menawarkan pemanjaan idealisme yang luar biasa. Sangat pantas jika Kamera Lubang Jarum digunakan sebagai kendaraan untuk “pendidikan” dan juga “seni”. Kini Kamera Lubang Jarum dijadikan pelajaran dasar fotografi di Media Rekam ISI Jogja dan institusi-institusi lainnya, melahirkan instruktur-instruktur tangguh, hingga mencetak Sarjana Kamera Lubang Jarum.
Teknologi fotografi bermula dari kotak penangkap bayangan gambar untuk meneliti konstelasi bintang-bintang yang dipatenkan ahli perbintangan Gemma Frisius, tahun 1554. Namun cikal bakalnya sudah dimulai penulis Cina, Moti, abad ke-5 SM, Aristoteles abad ke-3 SM, dan ilmuwan Arab ibnu al Haitam atau Al Hazen abad ke-10 M. Dan tahun 1558 ilmuwan Italia Giambattista della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.
Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan Italia, menemukan proses, “jika serbuk perak nitrat dikenai cahaya, warnanya akan berubah menjadi hitam”. Tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce (1765-1833), setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Pada percobaan selanjutnya, tahun 1826, lahirlah sebuah “gambar” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.
Tahun 1827 Niépce berkolaborasi dengan, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851). Sayang sebelum menunjukkan hasil optimal, Niépce wafat. Dan 19 Agustus 1839, Daguerre-lah yang dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat “foto yang sebenarnya”: sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, plat dicuci larutan garam dapur dan air suling.
Di Inggris, 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot (1800-1877) dengan menggunakan camera obscura memperkenalkan “lukisan fotografi”, yang ia buat positifnya pada kertas chlorida perak. Selanjutnya Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern, terbuat dari lembar kertas beremulsi, yang bisa digunakan mencetak foto dengan cara contact print juga bisa untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype. Untuk menghasilkan gambar positif, Talbot menggunakan proses Saltprint.
Di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming, Ray Bachtiar D (yang mulai menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai fotografer profesional), merasa resah. “Alangkah lebih baik jika dalam dunia pendidikan termasuk fotografi, mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”.
Sukses memotret pagar depan rumah tinggalnya menggunakan Pinhole Camera kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas pada 1997, digelarlah workshop perdana (2001) di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang (asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, disponsori Kedutaan Belanda). Ray Bachtiar menyebut pinhole camera kreasinya itu sebagai Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Kamera Lubang Jarum tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa penasaran” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”.
September 2001 terbit buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, dan pada 17 Agustus 2002 diproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain Kamera Lubang Jarum di Indonesia.
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” yang digarisbawahi: Kita harus mampu meloloskan diri dari kondisi sesulit apapun.
Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”, karena terbukti Kamera Lubang Jarum mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata. Oleh karenanya Kamera Lubang Jarum menawarkan seni proses dan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. Sangat pantas jika Kamera Lubang Jarum di Indonesia, digunakan sebagai kendaraan untuk “pendidikan” dan juga “seni”. Ini terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali. Kamera Lubang Jarum diterima para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah terjadi kolaborasi dengan seniman lukis, tekstil dan bahkan teater.
Pada tahun 2008 saat buku ke-dua terbit (Gramedia edisi Spesial Chip Foto Video) bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI”, Ray Bachtiar menekankan, fotografer harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-Kamera Lubang Jarum; (Pada peluncuran buku tersebut digelar workshop Kamera Lubang Jarum tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI 6 tahun silam, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi pada abad 19, Saltprint.
Dengan misi melahirkan kreator dan Instruktur berkualitas, juga jika suatu masa bahan Kamera Lubang Jarum (kertas foto, developer, fixer), tidak lagi diproduksi akibat pasar berubah jadi full digital, popularitas Kamera Lubang Jarum tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti lahirnya sejarah fotografi.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya orang-orang tertentu saja yang mampu membuat bahan Kamera Lubang Jarum dengan tangan mereka sendiri (handmade). Namun, membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, bukanlah khayalan. Kamera Lubang Jarum bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna. Terbukti keterbatasan alat dan bahan berubah jadi kelebihan, bahkan akhirnya jadi khas daerah. Di Jogja lahir Kamera Lubang Jarum kaleng rokok, bahkan ditemukan Kamera Lubang Jarum kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang luarbiasa. Di Malang lahir Kamera Lubang Jarum pralon bahkan muncul pula pengrajin Kamera kotak tripleks. Di jakarta lahir Kamera Lubang Jarum “pocket” yang terbuat dari selongsong film 135mm, bahkan kreatornya disahkan sebagai sarjana Kamera Lubang Jarum.
Kamera Lubang Jarum juga bisa menyisipkan pesan dan mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti, menjadi alat untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa dan eksplorasi kreativitas. Karena itulah Komunitas Lubang Jarum Indonesia tetap yakin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia. KLJI tetap bertekad untuk mendidik dan membangun motivasi. Seperti motto “guru” yang kian memudar…..
sorce: RayBachtiar.com/komunitaslubangjarum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar